Rabu, 19 April 2017

Fiqih Mawaris: Kakek Bersam Saudara




KAKEK BERSAMA SAUDARA
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Fiqih III
Dosen Pengampu: Ismail, Drs. H., M.Ag





Disusun Oleh:
Maqnunah     (2021115255)
Irshomuddin  (2021115258)
Kelas D

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS PENDIDIKAN DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2017







KATA PENGANTAR
           
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul”KAKEK BERSAMA SAUDARA”. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, sahabatnya, keluarganya, serta segala umatnya hingga yaumil akhir.
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai pembentukan akhlak yang berguna bagi umat muslim. Makalah ini disajikan sebagai bahan materi dalam diskusi mata kuliah Fiqih III Institut Agama Islam Negeri Pekalongan.
Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari beberapa reverensi mengenai sumber ajaran islam yang saling berkaitan. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca.

Penulis, April 2017








BAB I
Pendahuluan
A.  Latar Belakang Masalah
Secara hukum islam, pembagian waris sudah seharusnya sesuai dengan pembagian waris yang terdapat pada Al-qur’an. Namun pada kenyataannya saat ini jarang orang yang memakai hukum waris ini dalam pembagian waris, masyarakat lebih cenderung membagi waris sesuai dengan hukum dengan alasan sama-sama anak maka dibagi sama rata.
Padahal hal seperti ini merupakan salah satu penyebab yang menjadikan harta tersebut kurang diberkahi Allah, Karena cara pembagiannya tidak sesuai dengan ajaran Allah, dengan kata lain tidak mematuhi ketentuan Allah.
Selain itu masyarakat juga menjadikan alasan susahnya mencari orang yang pandai dalam pembagian waris berdasarkan ilmu faraidh, karena memang banyak yang tidak mempelajari ilmu faraidh. Oleh karena itu, kami mencoba memaparkan cara penghitungan waris kakek bersama saudara. Agar lebih mudah dipelajari khususnya dipelajari saya pribadi dan pembaca.  
B.  Rumusan Masalah
A.  Bagaimana pembagian pusaka kakek bersama dengan saudara?
B.   Bagaimana kakek harus memilih bagian dalam pembagian harta
waris ketika bersama dengan saudara?
C.  Bagaimana cara penyelesaian kakek bersama saudara?


BAB II
Pembahasan
A.  Hukum waris antara kakek dan saudara
Baik Al-qur’an maupun hadits nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagi kakek yang shahih dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini, bahkan cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini, karena mungkin mereka takut untuk memutuskan kewarisan kakek bersama saudara karena tidak adanya nash dari Al-Qur’an atau Al-Hadits yang mengungkapkan cara kewarisan kakek bersama dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan si pewaris.
Urusan tersebut membutuhkan ijtihad, sedangkan ijtihad kadang-kadang keliru, yang boleh jadi menghalangi kewarisan orang yang berhak, atau mungkin juga memberikan warisan kepada orang yang tidak berhak. Oleh sebab itu, sebagian sahabat tiak berani memutuskan hal tersebut, terutama hal ini menyangkut hak-hak kebendaan, yang dikhawatirkan akan menyebabkan kedzaliman dan penganiayaaan. Selain itu kedudukan ilmu waris ini (maudhunya) sangat rawan.
Ali Ash-Shabuni mengatakan bahwa masalah waris cukup sensitif. Oleh karena itu, Allah tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak kepemilikan materi ini. Dia menjelaskannya didalam Al-qur’an dengan detail agar tidak terjadi kedzaliman dan perbuatan aniaya dikalangan umat manusia, khususnya para ahli waris, namun masalah ini dapat teratasi setelah munculnya ijtihad para salaf yang saleh dan para imam yang mujtahidin.[1]

B.  Kakek bersama saudara
Apabila seseorang meninggal dunia sedang ahli warisnya terdapat kakek (ayah dari ayah dan seterusnya ke atas) dan saudara (saudara sekandung atau seayah). Maka tentang pembagiannya ada perbedaan pendapat para ulama dan sahabat-sahabat, yaitu:
1.    Ibnu Abbas ra., Abu Bakar ra., Aisyah ra., Ibnu Zubair ra., Muadz ra., Hasan al-Bishri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Daud dan lain-lainnya, berpendapat: kakek berkedudukan sebagai ayah, oleh karena itu kakek menghalangi saudara, baik saudara kandung, seayah atau seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
2.    Ali bin Abi Thalib ra., Zaid bin Tsabit ra., Ibnu Mas’ud ra., Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad serta Jumhur Ulama berpendapat, bahwa kedudukan saudara-saudara adalah sama dengan kakek bagi mayat dan karenanya mereka sepakat untuk memberikan warisan kepada saudara-saudara ketika bersama dengan kakek.
Mereka beralasan: hubungan kekerabatan antara seseorang yang sudah mati dengan kakek dan saudara adalah melalui ayah. Saudara adalah cabang bahwa bagi ayah (ayah dari ayah), yang berarti buat dia tidak ada perbedaan tentang jauh dekatnya, bahkan dapat dikatakan lebih dekat saudara dari pada kakek.[2]
Madzhab ini merupakan madzhab sahih, lebih rajih dan pantas ditonjolkan. Para hakim agama diberbagai negara islam telah mengambil pendapat ini karena lebih mendekati keadilan, kuat argumentasinya, dan lebih nyata mewujudkan kemaslahatan umum.
Kakek hanya mewarisi bersama dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan saja, yaitu tanpa adanya orang lain yang mempunyai bagian, seperti seseorang mati dengan meninggalkan seorang kakek bersama saudara laki-laki dan saudara perempuan saja. Disana, tidak ada ahli waris lain yang berhak terhadap bagian ashhab al-furudh, seperti istri, ibu, anak perempuan dan lain-lainnya. Kakek mewarisi bersama dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan serta orang yang mempunyai bagian (orang yang menjadi ashhabulfurudh), serta ibu, suami atau istri, anak perempuan dari laki-laki, dan orang-orang yang serupa mereka.
Hukum kewarisan kakek pada kondisi pertama, yaitu kakek mendapat warisan bersama saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan saja, tanpa ada orang lain yang mempunyai bagian. Dalam kondisi demikian, kewarisan kakek dapat memilih salah satu dari dua kemungkinan yang lebih menguntungkan dan lebih banyak bagiannya, yaitu sebagai berikut:
a.    Dengan muqasamah
b.    Mendapat sepertiga dari jumlah keseluruhan harta warisan.
Bagian yang lebih menguntungkan  dari salah satu dua kemungkinan tersebut, itulah yang diambil kakek. Apabila muqasamah lebih menguntungkan, kakek mengambil warisannya dengan jalan muqasamah, dan apabila sepertiga dari seluruh harta pusaka. Demikian seterusnya.[3]
C.  Muqasamah
Muqasamah berarti menganggap kakek seakan-akan saudara laki-laki sekandung. Ia mengambil bagian sebagaimana saudara laki-laki sekandung dan ia diperlakukan sebagaimana sudara laki-laki dan saudara yang lain, yakni apabila kakek menerima warisan  bersama dengan dengan saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung, maka bagian laki-laki sama dengan dua kali lipat bagian wanita.
Apabila cara muqasamah ini ternyata merugikan kakek (bagiannya kurang dari sepertiga), kakek berhak mengambil sepertiga dari semua harta. Hal ini sejalan dengan apa yang diisyaratkan dalam kitab Ruhbiyah bahwa kakek memperoleh warisan dengan menggunakan berbagai macam cara, yakni apabila kakek bersama dengan saudara-saudara, ia dapat menempuh jalan muqasamah.
Apabila dengan jalan itu tidak merugikan, atau ia mengambil bagian sepertiga secara sempurna (dari semua harta) dan ternyata dengan cara muqasamah mengurangi bagian kakek, dengan syarat tidak bersama-sama dengan ahli waris lain yang menjadi ashhabulfurudh, kakek mendapat bagian yang sesuai dengan pengertian tersebut.
Muqasamah lebih menguntungkan kakek dalam lima keadaan, yaitu:
a.    Kakek bersama seorang saudara perempuan sekandung. Dalam keadaan ini, kakek mengambil dua per-tiga dari seluruh harta.
b.   Kakek bersama dua orang saudara perempuan sekandung. Dalam keadaan ini, kakek mendapat seperdua bagian.
c.    Kakek bersama tiga orang saudara perempuan sekandung. Dalam keadaan ini, kakek mendapat dua per-lima bagian.
d.   Kakek bersama seorang saudara laki-laki sekandung. Dalam keadaan ini, kakek mendapat setengah.
e.    Kakek bersama seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan sekandung. Dalam keadaan ini, kakek mendapat bagian dua per-lima.
Lima keadaan itu lebih menguntungkan bagi kakek dengan cara muqasamah dari pada mengambil sepertiga dari seluruh harta. Dalam tiga keadaan berikut ini, muqasamah dan sepertiga dari seluruh harta sama besarnya, yaitu:
1.      Kakek bersama dua orang saudara laki-laki sekandung.
2.      Kakek bersama empat orang saudara perempuan sekandung.
3.      Kakek bersama seorang saudara laki-laki sekandung dan dua orang saudara perempuan sekandung.[4]
Hukum kewarisan kakek pada kondisi kedua, yaitu jika kakek mendapat warisan bersama dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan serta ahli waris lain dari golongan ashhabulfurudh, kakek mengambil bagian yang lebih menguntungkan dari tiga cara berikut ini:
a.     Adakalanya dengan muqasamah.
b.    Adakalanya mengambil sepertiga dari sisa.
c.     Adakalanya mengambil seperenam dari seluruh harta.
Diisyaratkan bahwa bagian kakek tidak boleh memperoleh warisan kurang dari seperenam dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Apabila setelah harta pusaka diberikan kepada ashhabulfurudh tidak ada sisanya, kecuali seperenam atau sisanya kurang dari seperenam. Kakek diberi bagian sebagai ashhabulfurudh, yakni seperenam dari seluruh harta dan saudara sekandung tidak mendapatkan apa-apa (terhijab). Demikianlah menurut kesepakatan para imam dan ahli fiqh.[5]
D.  Proses Penyelesaian Masalah Kakek dengan Saudara
Contoh pertama:
Apabila ahli warisnya kakek dan dua orang saudara laki-laki sekandung, dengan tirkah Rp. 120.000
Cara penyelelesainnya kakek memilih yang menguntungkan:
1.      Kakek memilih 1/3 bagian, maka kakek mendapat 1/3 × Rp. 120.000 = Rp. 40.000
Saudara, karena berdua maka mendapat 2/3 bagian, maka saudara
mendapat 2/3 × Rp. 120. 000= Rp. 80.000
Pada posisi ini bagian kakek tidak menguntungkan, karena mendapat lebih sedikit dari saudara.
2.      Kakek memilih muqasamah, maka bagian kakek 1/2,  maka kakek mendapat ½× Rp. 120.000= Rp. 60.000
Saudara juga mendapat ½, maka saudara memilih ½× Rp. 120.000= 60
Maka pada bagian ini kakek lebih menguntungkan memilih muqasamah.
Contoh Kedua:
Apabila ada mayit meninggalkan ahli waris kakek bersama 3 saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung, dengan tirkah Rp. 480.000, berapa bagian mereka masing-masing?
1.    Jika kakek memilih 1/3, maka bagian yang diperoleh kakek adalah 1/3× Rp. 480.000= Rp. 160.000
Tiga saudara laki-laki sekandung mendapat ashabah bersama saudara perempuan. Sisanya (ashobah) 2/3× Rp.480.000= Rp.320.000
Dua saudara perempuan sekandung ashabah bil-ghair, masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 1/8×Rp.320.000= Rp. 40.000
Masing-masing saudara laki-laki sekandung 2/8×Rp. 320.000= Rp.80.000
2.    Jika kakek memilih muqasamah
Muqasamah berbagi sama dengan para saudara dengan prinsip laki-laki dua kali wanita. Karena itu:
Kakek (2): 2/10×Rp.480.000= Rp.96.000
3 saudara laki-laki (6): 6/10×Rp.480.000= Rp. 288.000
2 saudara perempuan (2): 2/10×Rp. 480.000= Rp. 96.000
Asal masalah berdasarkan jumlah saham menjadi 10.
Saudara lai-laki 1/3×Rp. 288.000=Rp. 96.000
Saudara perempuan 1/3×Rp. 96.000=Rp. 48.000
Bagian kakek lebih menguntungkan 1/3 yaitu Rp. 160.000 dari pada muqasamah yaitu Rp. 96.000. Maka kakek memilih yang lebih menguntungkan.[6]

BAB III
Penutup
A.  Kesimpulan
Dari penjelasan diatas kami dapat menyimpulkan bahwa bagian kakek apabila bersama dengan saudar, kakek boleh memilih bagian manapun yang menguntungkan bagi kakek. Karena hubungan kedekatan kakek dengan mayit dan saudara dengan mayat sama-sama dekat, sehingga kakek dan saudara sudah seharusnya mendapat bagian yang sesuai ataupun yang menguntungkan.
Dalam hal ini kakek boleh memilih bagiannya antara 1/3, 1/6 dari sisa dan muqasamah. Dimana diantara bagian-bagian tersebut kakek mengambil bagian yang paling menguntungkan untuk kakek.

Daftar Pustaka
Hasbiyallah. 2013. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset
Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan. Jakarta: Rajawali Pres
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqih Mawaris. Bandung: CV Pustaka Setia


[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) hlm.238-239
[2]Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012) hlm. 170-172
[3]Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., hlm. 241-242
[4]Ibid., 248
[5]Ibid., 249
[6]Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2013), Hlm. 75-77




Tidak ada komentar:

Posting Komentar