KAKEK
BERSAMA SAUDARA
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Fiqih III
Dosen Pengampu: Ismail, Drs. H., M.Ag
Disusun Oleh:
Maqnunah (2021115255)
Irshomuddin (2021115258)
Kelas D
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
PENDIDIKAN DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul”KAKEK BERSAMA SAUDARA”. Shalawat dan salam senantiasa
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, sahabatnya, keluarganya, serta segala
umatnya hingga yaumil akhir.
Makalah
ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai pembentukan akhlak yang
berguna bagi umat muslim. Makalah ini disajikan sebagai bahan materi dalam
diskusi mata kuliah Fiqih III Institut Agama
Islam Negeri Pekalongan.
Penulis
menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna.
Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari beberapa reverensi mengenai
sumber ajaran islam yang saling berkaitan. Apabila dalam penulisan makalah ini
ada kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka
penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca.
Penulis, April 2017
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Secara hukum islam, pembagian waris sudah
seharusnya sesuai dengan pembagian waris yang terdapat pada Al-qur’an. Namun
pada kenyataannya saat ini jarang orang yang memakai hukum waris ini dalam
pembagian waris, masyarakat lebih cenderung membagi waris sesuai dengan hukum dengan
alasan sama-sama anak maka dibagi sama rata.
Padahal hal
seperti ini merupakan salah satu penyebab yang menjadikan harta tersebut kurang
diberkahi Allah, Karena cara pembagiannya tidak sesuai dengan ajaran Allah,
dengan kata lain tidak mematuhi ketentuan Allah.
Selain itu
masyarakat juga menjadikan alasan susahnya mencari orang yang pandai dalam
pembagian waris berdasarkan ilmu faraidh, karena memang banyak yang tidak
mempelajari ilmu faraidh. Oleh karena itu, kami mencoba memaparkan cara
penghitungan waris kakek bersama saudara. Agar lebih mudah dipelajari khususnya
dipelajari saya pribadi dan pembaca.
B.
Rumusan Masalah
A.
Bagaimana pembagian pusaka kakek bersama dengan
saudara?
B.
Bagaimana kakek harus memilih bagian dalam
pembagian harta
waris ketika
bersama dengan saudara?
C. Bagaimana cara penyelesaian kakek bersama saudara?
BAB II
Pembahasan
A.
Hukum waris antara kakek dan saudara
Baik Al-qur’an maupun hadits nabawi tidak
menjelaskan tentang hukum waris bagi kakek yang shahih dengan saudara kandung ataupun
saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam
memvonis masalah ini, bahkan cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang
berkenaan dengan masalah ini, karena mungkin mereka takut untuk memutuskan
kewarisan kakek bersama saudara karena tidak adanya nash dari Al-Qur’an atau
Al-Hadits yang mengungkapkan cara kewarisan kakek bersama dengan saudara
laki-laki dan saudara perempuan si pewaris.
Urusan tersebut membutuhkan ijtihad, sedangkan
ijtihad kadang-kadang keliru, yang boleh jadi menghalangi kewarisan orang yang
berhak, atau mungkin juga memberikan warisan kepada orang yang tidak berhak.
Oleh sebab itu, sebagian sahabat tiak berani memutuskan hal tersebut, terutama
hal ini menyangkut hak-hak kebendaan, yang dikhawatirkan akan menyebabkan
kedzaliman dan penganiayaaan. Selain itu kedudukan ilmu waris ini (maudhunya)
sangat rawan.
Ali Ash-Shabuni mengatakan bahwa masalah waris
cukup sensitif. Oleh karena itu, Allah tidak membiarkan begitu saja hukum yang
berkenaan dengan masalah hak kepemilikan materi ini. Dia menjelaskannya didalam
Al-qur’an dengan detail agar tidak terjadi kedzaliman dan perbuatan aniaya dikalangan
umat manusia, khususnya para ahli waris, namun masalah ini dapat teratasi
setelah munculnya ijtihad para salaf yang saleh dan para imam yang mujtahidin.[1]
B.
Kakek bersama saudara
Apabila seseorang meninggal dunia sedang ahli
warisnya terdapat kakek (ayah dari ayah dan seterusnya ke atas) dan saudara
(saudara sekandung atau seayah). Maka tentang pembagiannya ada perbedaan
pendapat para ulama dan sahabat-sahabat, yaitu:
1.
Ibnu Abbas ra., Abu Bakar ra., Aisyah ra., Ibnu
Zubair ra., Muadz ra., Hasan al-Bishri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Daud dan
lain-lainnya, berpendapat: kakek berkedudukan sebagai ayah, oleh karena itu kakek
menghalangi saudara, baik saudara kandung, seayah atau seibu, baik laki-laki
maupun perempuan.
2.
Ali bin Abi Thalib ra., Zaid bin Tsabit ra., Ibnu
Mas’ud ra., Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad serta Jumhur Ulama berpendapat, bahwa
kedudukan saudara-saudara adalah sama dengan kakek bagi mayat dan karenanya
mereka sepakat untuk memberikan warisan kepada saudara-saudara ketika bersama
dengan kakek.
Mereka beralasan: hubungan kekerabatan antara
seseorang yang sudah mati dengan kakek dan saudara adalah melalui ayah. Saudara
adalah cabang bahwa bagi ayah (ayah dari ayah), yang berarti buat dia tidak ada
perbedaan tentang jauh dekatnya, bahkan dapat dikatakan lebih dekat saudara
dari pada kakek.[2]
Madzhab ini merupakan madzhab sahih, lebih rajih
dan pantas ditonjolkan. Para hakim agama diberbagai negara islam telah
mengambil pendapat ini karena lebih mendekati keadilan, kuat argumentasinya,
dan lebih nyata mewujudkan kemaslahatan umum.
Kakek hanya mewarisi bersama dengan saudara
laki-laki dan saudara perempuan saja, yaitu tanpa adanya orang lain yang
mempunyai bagian, seperti seseorang mati dengan meninggalkan seorang kakek bersama
saudara laki-laki dan saudara perempuan saja. Disana, tidak ada ahli waris lain
yang berhak terhadap bagian ashhab al-furudh, seperti istri, ibu, anak
perempuan dan lain-lainnya. Kakek mewarisi bersama dengan saudara laki-laki dan
saudara perempuan serta orang yang mempunyai bagian (orang yang menjadi
ashhabulfurudh), serta ibu, suami atau istri, anak perempuan dari laki-laki,
dan orang-orang yang serupa mereka.
Hukum kewarisan kakek pada kondisi pertama, yaitu
kakek mendapat warisan bersama saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara
perempuan saja, tanpa ada orang lain yang mempunyai bagian. Dalam kondisi
demikian, kewarisan kakek dapat memilih salah satu dari dua kemungkinan yang
lebih menguntungkan dan lebih banyak bagiannya, yaitu sebagai berikut:
a.
Dengan muqasamah
b.
Mendapat sepertiga dari jumlah keseluruhan harta
warisan.
Bagian yang
lebih menguntungkan dari salah satu dua kemungkinan
tersebut, itulah yang diambil kakek. Apabila muqasamah lebih menguntungkan,
kakek mengambil warisannya dengan jalan muqasamah, dan apabila sepertiga dari
seluruh harta pusaka. Demikian seterusnya.[3]
C.
Muqasamah
Muqasamah
berarti menganggap kakek seakan-akan saudara laki-laki sekandung. Ia mengambil
bagian sebagaimana saudara laki-laki sekandung dan ia diperlakukan sebagaimana
sudara laki-laki dan saudara yang lain, yakni apabila kakek menerima warisan bersama dengan dengan saudara laki-laki
sekandung dan saudara perempuan sekandung, maka bagian laki-laki sama dengan
dua kali lipat bagian wanita.
Apabila cara
muqasamah ini ternyata merugikan kakek (bagiannya kurang dari sepertiga), kakek
berhak mengambil sepertiga dari semua harta. Hal ini sejalan dengan apa yang
diisyaratkan dalam kitab Ruhbiyah bahwa kakek memperoleh warisan dengan
menggunakan berbagai macam cara, yakni apabila kakek bersama dengan
saudara-saudara, ia dapat menempuh jalan muqasamah.
Apabila
dengan jalan itu tidak merugikan, atau ia mengambil bagian sepertiga secara
sempurna (dari semua harta) dan ternyata dengan cara muqasamah mengurangi
bagian kakek, dengan syarat tidak bersama-sama dengan ahli waris lain yang
menjadi ashhabulfurudh, kakek mendapat bagian yang sesuai dengan pengertian
tersebut.
Muqasamah
lebih menguntungkan kakek dalam lima keadaan, yaitu:
a.
Kakek bersama seorang saudara perempuan sekandung.
Dalam keadaan ini, kakek mengambil dua per-tiga dari seluruh harta.
b.
Kakek bersama dua orang saudara perempuan sekandung.
Dalam keadaan ini, kakek mendapat seperdua bagian.
c.
Kakek bersama tiga orang saudara perempuan
sekandung. Dalam keadaan ini, kakek mendapat dua per-lima bagian.
d.
Kakek bersama seorang saudara laki-laki sekandung.
Dalam keadaan ini, kakek mendapat setengah.
e.
Kakek bersama seorang saudara laki-laki dan
seorang saudara perempuan sekandung. Dalam keadaan ini, kakek mendapat bagian
dua per-lima.
Lima keadaan itu lebih menguntungkan bagi kakek
dengan cara muqasamah dari pada mengambil sepertiga dari seluruh harta. Dalam
tiga keadaan berikut ini, muqasamah dan sepertiga dari seluruh harta sama
besarnya, yaitu:
1.
Kakek bersama dua orang saudara laki-laki
sekandung.
2.
Kakek bersama empat orang saudara perempuan
sekandung.
3.
Kakek bersama seorang saudara laki-laki sekandung
dan dua orang saudara perempuan sekandung.[4]
Hukum kewarisan kakek pada kondisi kedua, yaitu
jika kakek mendapat warisan bersama dengan saudara laki-laki dan saudara
perempuan serta ahli waris lain dari golongan ashhabulfurudh, kakek mengambil
bagian yang lebih menguntungkan dari tiga cara berikut ini:
a.
Adakalanya dengan muqasamah.
b.
Adakalanya mengambil sepertiga dari sisa.
c.
Adakalanya mengambil seperenam dari seluruh harta.
Diisyaratkan
bahwa bagian kakek tidak boleh memperoleh warisan kurang dari seperenam dalam
situasi dan kondisi bagaimanapun. Apabila setelah harta pusaka diberikan kepada
ashhabulfurudh tidak ada sisanya, kecuali seperenam atau sisanya kurang dari
seperenam. Kakek diberi bagian sebagai ashhabulfurudh, yakni seperenam dari
seluruh harta dan saudara sekandung tidak mendapatkan apa-apa (terhijab).
Demikianlah menurut kesepakatan para imam dan ahli fiqh.[5]
D.
Proses Penyelesaian Masalah Kakek dengan Saudara
Contoh pertama:
Apabila ahli
warisnya kakek dan dua orang saudara laki-laki sekandung, dengan tirkah Rp.
120.000
Cara
penyelelesainnya kakek memilih yang menguntungkan:
1.
Kakek memilih 1/3 bagian, maka kakek mendapat 1/3 × Rp. 120.000 = Rp. 40.000
Saudara, karena berdua maka mendapat
2/3 bagian, maka saudara
mendapat 2/3 × Rp. 120. 000= Rp. 80.000
Pada posisi ini bagian kakek tidak
menguntungkan, karena mendapat lebih sedikit dari saudara.
2.
Kakek memilih muqasamah, maka bagian kakek 1/2, maka kakek mendapat ½× Rp. 120.000= Rp. 60.000
Saudara juga mendapat ½, maka
saudara memilih ½× Rp. 120.000= 60
Maka pada bagian
ini kakek lebih menguntungkan memilih muqasamah.
Contoh Kedua:
Apabila ada mayit meninggalkan
ahli waris kakek bersama 3 saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan
sekandung, dengan tirkah Rp. 480.000, berapa bagian mereka masing-masing?
1. Jika kakek memilih 1/3, maka bagian yang diperoleh kakek adalah 1/3× Rp.
480.000= Rp. 160.000
Tiga saudara laki-laki sekandung
mendapat ashabah bersama saudara perempuan. Sisanya (ashobah) 2/3× Rp.480.000= Rp.320.000
Dua saudara perempuan sekandung
ashabah bil-ghair, masing-masing saudara perempuan sekandung mendapat 1/8×Rp.320.000=
Rp. 40.000
Masing-masing saudara laki-laki
sekandung 2/8×Rp.
320.000= Rp.80.000
2. Jika kakek memilih
muqasamah
Muqasamah berbagi sama dengan para
saudara dengan prinsip laki-laki dua kali wanita. Karena itu:
Kakek (2): 2/10×Rp.480.000= Rp.96.000
3 saudara laki-laki (6): 6/10×Rp.480.000=
Rp. 288.000
2 saudara perempuan (2): 2/10×Rp.
480.000= Rp. 96.000
Asal masalah berdasarkan jumlah
saham menjadi 10.
Saudara lai-laki 1/3×Rp. 288.000=Rp. 96.000
Saudara perempuan 1/3×Rp. 96.000=Rp. 48.000
Bagian kakek lebih menguntungkan
1/3 yaitu Rp. 160.000 dari pada muqasamah yaitu Rp. 96.000. Maka kakek memilih
yang lebih menguntungkan.[6]
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas kami dapat menyimpulkan bahwa bagian
kakek apabila bersama dengan saudar, kakek boleh memilih bagian manapun yang
menguntungkan bagi kakek. Karena hubungan kedekatan kakek dengan mayit dan
saudara dengan mayat sama-sama dekat, sehingga kakek dan saudara sudah
seharusnya mendapat bagian yang sesuai ataupun yang menguntungkan.
Dalam hal ini kakek boleh memilih bagiannya antara 1/3,
1/6 dari sisa dan muqasamah. Dimana diantara bagian-bagian tersebut kakek
mengambil bagian yang paling menguntungkan untuk kakek.
Daftar Pustaka
Hasbiyallah. 2013. Belajar Mudah Ilmu Waris.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset
Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan.
Jakarta: Rajawali Pres
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqih Mawaris. Bandung:
CV Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar